Tuesday, November 25, 2014

analisis novel

Hai teman-teman, 
Saya ingin berbagi informasi mengenai analisis novel yang sudah saya buat dengan penuh pengorbanan ini. Analisis ini saya kerjakan selama 2 minggu untuk memenuhi tugas bahasa Indonesia.
Saya mohon maaf apabila terdapat banyak kesalahan, karena saya masih belajar. Mohon pengertiannya :)


Judul                : Sitti Nurbaya
Penulis             : Marah Rusli
Terbitan           : Balai Pustaka                           
Tahun              : 2008
Halaman          : 334

Sinopsis,

SITTI NURBAYA

Samsulbahri adalah anak dari Sutan Mahmud yaitu penghulu di Kota Padang, sedangkan Sitti Nurbaya adalah putri dari Baginda Sulaiman yaitu salah satu putri dari saudagar kaya di Kota Padang. Sitti dan Samsulbahri adalah teman sejak kecil, entah itu teman bermain maupun teman sekolah. Mereka selalu bersama dan tidak pernah terpisah satu sama lain, sampai akhirnya Samsulbahri harus pergi ke Jakarta untuk melanjutkan pendidikan sebagai dokter di Jakarta.
Setelah beberapa waktu kepergian Samsulbahri ke Jakarta, nasib buruk mulai mendatangi Sitti. Usaha ayahnya jatuh akibat dari ulah licik Datuk Meringgih. Toko ayahnya hancur, perkebunan kelapanya diracuni, kapal yang mengantar kelapapun di tenggelamkan. Dan di saat-saat seperti itulah datanglah Datuk Meringgih dengan niat jahatnya untuk meminjamkan uang sepuluh ribu kepada Baginda Sulaiman dengan alasan untuk membangun usahanya kembali.
Tetapi ketika Baginda Sulaiman berusaha membangun kembali usahanya, semuanya gagal dengan percuma. Di saat yang sulit itu, datanglah Datuk Meringgih untuk menagih hutangnya kembali. Tetapi saat itu Baginda Sulaiman tidak memiliki uang untuk membayar hutangnya, dan saat itu juga Datuk Meringgih menawarkan sebuah persetujuan yaitu meminta Sitti Nurbaya untuk menikah dengan dirinya sebagai pengganti hutang. Tanpa ada pilihan lain, Sitti Nurbaya dan Baginda Sulaiman hanya dapat mengiyakan permintaan Datuk Meringgih.
Setahun lebih setelah pernikahan Sitti Nurbaya dengan Datuk Meringgih, Samsulbahri kembali ke Kota Padang. Bersamaan dengan kepulangan Samsulbahri ternyata Ayah dari Sitti sedang sakit. Mendengar hal tersebut, Samsulbahri bergegas mengunjungi Baginda Sulaiman di kediamannya. Di sanalah akhirnya Samsul dan Sitti bertemu untuk pertama kalinya setelah sekian lama berlalu. Di saat mereka sedang asik berbincang-bincang datanglah Datuk Meringgih bersama anak buahnya membuat kekacauan. Hal inilah yang akhirnya membuat Baginda Sulaiman meninggal saat hendak menuruni tangga untuk melihat apa yang terjadi.
Setelah kejadian itu Sitti meminta cerai kepada Datuk Meringgih dan melarikan diri ke Jakarta untuk menyusul Samsul, tetapi saat di kapal menuju Jakarta Sitti hampir kehilangan nyawanya akibat ulah kaki tangan Datuk Meringgih, untunglah hal ini dapat dicegah oleh Pak Ali, yaitu kusir yang dulu bekerja untuk Sutan Mahmud.
Setelah beberapa lama, akhirnya Sitti kembali ke Padang, namun nasib buruk masih mengikutinya. Tidak beberapa lama setelah Sitti kembali ke Padang, ia kehilangan nyawanya. Dia meninggal karena memakan lemang yang telah di racuni oleh Datuk Meringgih. Mendengar kabar ini, geramlah si Samsul dan bertambahlah dendamnya untuk Datuk Meringgih.
Bertahun-tahun kemudian setelah Samsulbahri mendapat gelar Letnam mas, ia kembali lagi ke Padang untuk menjalankan sebuah tugas. Di saat inilah akhirnya Samsulbahri dapat membalaskan dendamnya dengan membunuh Datuk Meringgih.
Tidak lama setelah Samsulbahri membunuh Datuk Meringgih, ia juga meninggal dunia akibat luka parang yang ada pada dirinya. Baginda Sulaiman, Sitti Nurbaya, Samsulbahri, Sitti Maryam, dan Sutan Mahmud di makamkan secara berjejer di bukit Padang.


Analisis unsur intrinsik novel “Sitti Nurbaya”

1.      Tema                                       :
·         Perjalanan cinta dua insan manusia

2.      Alur                                         :
·         Pengenalan tokoh       :” Anak laki-laki yang dipanggil Sam oleh temannya tadi, ialah Samsulbahri, anak Sutan Mahmud Syah, Penghulu di Padang, seorang yang berpangkat dan berbangsa tinggi” (H7, P9)
·         Muncul konflik            :”Aku sesungguhnya tiada senang melihat perniagaan Baginda Sulaiman, makin hari makin bertambah maju, sehingga berani ia bersaing dengan aku.Oleh sebab itu hendaklah ia dijatuhkan” (H106, P8)
·         Klimaks                        :”Kira-kira pukul tujuh malam, berangkatlah sepasukan serdadu yang dipimpin oleh Letnam Mas dan van Sta, ke luar Kota Padang menuju Kota Tengah” (H317, P5)
·         Penurunan                   :”Setelah itu juga rebahlah keduanya di tanah, Datuk Meringgih karena kena peluru Samsulbahri, yang menembus dada dan jantungnya dan Samsulbahri, karena parang Datuk Meringgih kepalanya”
·         Penyelesaian               :”Tatkala mereka tiba di tempat yang ditujunya, kelihatanlah di sana olehnya, lima buah kubur sejejer berdekat-dekatan” (H332, P5)

3.      Tokoh dan penokohan :
Ø  Tokoh
·         Sitti Nurbaya               :”Temannya yang dipanggilnya Nur tadi ialah Sitti Nurbaya ..” (H8, P3)
·         Samsulbahri                :”Anak laki-laki yang dipanggil Sam oleh temannya tadi, ialah Samsulbahri ...” (H7, P9)
·         Datuk Meringgih         :”Itulah Datuk Meringgih...” (H 9, P4)
·         Sutan Mahmud           :”Waktu itu kelihatan Sutan Mahmud ...” ( H11, P4)
·         Baginda Sulaiman       :”Ketika itu berhentilah Baginda Sulaiman seurus ...” (H153, P2)
·         Zainularifin                 :”...ialah Zainularifin, anak Hopjaksa Sutan Pamuncak...” (H27, P11)
·         Muhammad Bakhtiar :”... dan Muhammad Bakhtiar anak guru kepala sekolah...” (H27, P7)
·         Sitti Alimah                 :”...kata Sitti Alimah pula, sambil mengurut-urut rambut dan tangan Nurbaya” (H199, P3)
·         Ahmad Maulana         :”...kata Ahmad Maulana pula, sambil membakar rokonya” (H231, P6)
·         Letnam Yan van Sta    :”...jawab Letnam Yan van Sta” (H281, P7)
·         Siti Maryam                :”...lalu Siti Maryam menyapu air matanya...” (H88, P5
·         Rukiah                         :”Ke mana ibumu Rukiah ?” (H13, P3)
·         Rubiah                         :”... kata putri Rubiah, seraya menyapu air matanya ...” (H15, P7)
·         Sutan Mansyur            :”...pakaian penerimaan Sutan Mansyur, yang bakal menjadi suaminya itu pun bekum cukup” (H21, P3)
·         Hamzah                       :”Hamzah, tutuplah pintu dan tinggallah engkau di sini ! Jaga rumah baik-baik !” (H23, P10)
·         Pak Ali                         :”o .. itu Pak Ali datang” (H5, P1)
·         Ludi                             :”Bagaimana pikiranmu tentang perempuan ini Ludi ?” (H209, P2)

Ø  Penokohan
·         Sitti Nurbaya               :Tertib, sopan, baik hati
“... karena bukan rupanya saja yang cantik, tapi kelakuan dan adatnya, tertib dan sopan santunnya, serta kebaikan hatinya ...” (H8, P3)
·         Samsulbahri                :Baik, tertib, sopan santun,
“... tingkah lakunya pun baik, tertib, sopan santun, seta halus budi bahasanya” (H8, P2)
·         Datuk Meringgih         :Pelit, kasar, budi pekertinya buruk, tamak
“Saudagar ini adalah seorang yang bakhil, loba dan tamak, tiada pengasih dan penyayang, serta bengis kasar budi pekertinya” (H95, P5)
“Rupanya buruk, umurnya telah lanjut, pakaian dan rumah tangganya kotor, adat dan kelakuannya kasar dan bengis, bangsanya rendah...” (H 10, P1)
·         Sutan Mahmud            :Tingkah lakunya baik, penyayang, pengasih, adil
“...karena bangsanya tinggi, rupanya elok, tingkah lakunya pun baik, pengasih penyayang kepada anak buahnya, serta adil dan lurus dalam pekerjaannya” (H12, P3)
·         Rubiah                         :Dengki dan bengis
“Pada air mukanya yang kurang yang agak berlainan dengan wajah muka Sutan Mahmud, terbayang tabiatnya yang kurang baik, yaitu dengki dan bengis” (H14, P8)
·         Pak Ali                         :baik hati,  baik budi
“... ia seorang yang lurus hati dan baik budi ...” (H5, P2)



4.      Setting                                     :
Ø  Waktu
·         Pukul satu siang          : “kira-kira pukul 1 siang ...” (H1, P1)
·         Setengah dua              :”Tahukah bahwa sekarang ini sudah setenga dua ?” (H5, P3)
·         Senja hari                    :”Pada senja hari yang baru diceritakan...” (H12, P1)
·         Keesokan harinya        :”Pada keesokannya, pukul lima pagi” (H24, P1)
·         Pukul lima pagi           :”Oleh sebab nyata oleh Samsu, bahwa hari baru pukul lima pagi” (H24, P2)
·         Pukul 6.15                    :”Kira-kira pukul enam lewat seperempat...” (H26, P6)
·         Minggu malam                       :”Pada petang hari Ahad, tatkala Samsu dengan sahabatnya pergi...” (H60, P1)
·         Pukul sembilan            :”Setelah hari pukul sembilan, masuklah sekalian anak muda itu ...” ( H77, P7)
·         Malam itu                   :”Sebenarnya malam itu hamba akan pergi ke Hulu Limau Manis...” (H105, P1)
·         Pukul dua malam        :”Tiba-tiba kira-kira pukul dua malam, terbangunlah ia daripada tidurnya...” (H125, P5)
·         Satu jam kemudian     :”Sejam kemudian daripada itu, habisah ketiga toko Baginda Sulaiman...”  (H127, P2)
·         Tiga malam                 :”Tatkala hari telah pukul tiga malam, bangunlah ia perlahan-lahan...” (H186, P7)
·         Tujuh pagi                   :”Pukul tujuh pagi diangkatlah jangkar dan berlayarlah kapal itu menuju...” (H187, P3)
·         Setengah tujuh            :”Hari kira-kira pukul setengah tujuh, petang berebut dengan senja...” (H188, P1)
·         Pukul sepuluh              :”Akan tetapi pada malamnya, kira-kira pukul sepuluh...” (H214, P2)

Ø  Tempat
·         Di bawah pohon          :”Bernaung dibawah pohon ketapang yang rindang ...” (H1,P 1)
·         Rumah Samsulbahri    :”... tatkala Samsulbahri sampai ke rumahnya...” (H9, P3)
·         Pekarangan sebuah rumah     :”...masuk ke dalam pekarangan sebuah rumah ...” (H12, P1)
·         Kampung Alang Awas :”...masuk ke dalam pekarangan sebuah rumah gedung di Kampung Alang Awas” (H12, P1)
·         Rumah jaga di Muara :”Sesungguhnya keempat anak muda itu telah sampai kedekat sebuah rumah jaga di Muara” (H30, P2)
·         Sungai Arau                 :”...sambil membawa bekal masing-masing, lalu pergi ke pinggir sungai Arau (H33, P3)
·         Apenberg                     “Orang Belanda menamai Gunung Padang ini Apenberg (gunung kera)...” (H35, P8)
·         Rumah perhentian      :”...dalam rumah perhentian ini...” (H44, P5)
·         Pangkal pendakian      :”Tatkala sampai ke pangkal pendakian, berhentilah mereka sejurus di kedai...” (H58, P8)
·         Rumah Sam                 :”...di rumah orang tuanya, di Kampung Jawa Dalam di Padang” (H71, P1)
·         Pekarangan rumah     :”...sampailah keduanya ke dalam pekarangan Nurbaya...” (H80, P3)
·         Kapal                           :”Di atas kapal, kelasi-kelasi sedang asyik mengerjakan pekerjaan masing-masing...” (H87, P4)
·         Rumah Meringgih       :”Sementara itu masuklah Datuk Meringgih ke dalam rumahnya ...” (H108, P4)
·         Pasar Kampung Jawa  :”Setelah sampai ia ke Pasar Kampung Jawa, bertanyalah penghulu itu...”(H126, P2)
·         Kamar Sulaiman          :”...ia berjalan perlahan-lahan, masuk ke bilik Baginda Sulaima” (H149, P6)
·         Teluk Bayur                 :”Kemudian berjalanlah ia menuju pelabuhan Teluk Bayur” (H187, P2)

Ø  Suasana
·         Mencekam                  :”...tiba-tiba kedengaranlah dari jauh katuk-katuk berbunyi, alamat ada orang mengamuk” (H21, P5)
·         Panik                            :”Bakhtiar membedil orang...” (H58, P4)
·         Romantis                     :”...Nur, bahwa aku ini sangat cinta kepadamu” (H81, P3)
·         Risau                            :”Tatkala akan dikoyaknya pembungkus surat itu, tiba-tiba jatuhlah gambar Nurbaya yang tergantung pada dinding biliknya...” (H129, P4)
·         Sedih                            :”Setelah Samsu membaca keceakaan in, lalu ia menundukkankepalanya ke atas mejanya, menangis amat keras, karena sedih...” (H141, P3)
·         Amarah                       :”Demi Allah, demi rasulnya ! Selagi ada napas di dalam dadaku, akan kubalas jua kejahatan ini !...” (H141, P5)
·         Prihatin                        :”Rambutnya mulai putih, mukanya pucat, badannya kurus, mata, dan pipinya serta napasnya sekali-sekali, karena sangat letih rupanya” (H149, P7)

5.      Sudut pandang                        :
·         Sudut pandang orang ketiga serba tahu
“Walaupun ia rupanya sebagai seorang anak yang lemah lembut, akan tetapi jika perlu, tidaklah ia takut menguji kekuatan dan keberaniannya...” (H8, P2)

6.      Gaya Bahasa                           :
Ø  Ironi                                  :
·         Benar engkau berani ? Engkau memang sengaja tiada kupanggil, sebab aku tahu, engkau lebih suka pergi ke tempat keramaian yang ada kue-kue, daripada ke tempat keramaian yang ada darah (H29, P10)
Ø  Antitesis               :
·         Kekayaan dan kemiskinan, kemuliaan dan kehinaan, kesusahan dan kesenangan, ya sekaliannya, datangnya daripada Tuhan Yang Maha Esa juga (H99, P4)
Ø  Personifikasi                     :
·         Hanya dari jauh kedengaran olehnya kokok ayam jantan bersahut-sahutan di segala pihak, sebagai orang bersorak berganti-ganti, karena berbesar hati menyambut kedatangan fajar (H24, P1)

7.      Amanat                                   :
·         Harta dan kekuasaan hanyalah titipan semata, memuja dan mengagung-agungkannya adalah percuma. Karena saat Tuhan menghendaki untuk hilang, maka hilanglah semuanya tanpa ada tersisa.
·         Berfikiran positif dan percaya kepada orang lain itu baik, tetapi alangkah lebih baik lagi jika rasa positif dan percaya diiringi dengan ke hati-hatian.


Analisis unsur ekstrinsik novel “Sitti Nurbaya”
1.     Nilai moral                              :
·         “Bangsa yang tinggi, tak boleh menjadi alasan kesombongan, karena ketinggian itu sebab ditinggikan dan kerendahan itu sebab direndahkan orang. Jika tak ada yang meninggikan dan merendahkan, tentulah sama rata sekaliannya” Kata Baginda Sulaiman kepada Nurbaya (H156, P2)
·         “Orang yang sabar dan dapat menahan keinginan hatinya, jarang salah barang perbuatannya” Kata Arifin kepada ketiga temannya (H32, P6)
·         Tiap-tiap suatu yang hendak dikerja atau dikatakan, haruslah dipikirkan lebih dahulu dengan sehabis-habis dipikir dan ditimbang dengan semasak-masaknya : Berkata sepatah, dipikirkan, supaya jangan salah; sebab kesalahan itu boleh mendatangkan sesal yang tak habis. Sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna. “(H52, P3)

2.      Nilai budaya                            :
·         Anak orang umur 12 atau 13 tahun, setua-tuanya umur 14 tahun, telah dikawinkan, tetapi anakku, hampir beruban, masih perawan juga. (H19, P1)
·         “Berapa uang jemputan yang dimintanya ?” tanya Sutan Mahmud pula dengan tiada mengindahkan perkataan saudaranya itu.
“Sudah beberapa kali kukatakan 300 rupiah”,  jawab perempuan itu.
“Tak mau ia kurang ? 200 atau 250 rupiah misalnya ?” tanya Sutan Mahmud.
"Kalau kepada tukang ikan ia akan dikawinkan, tentu tak usah menemput seduit jua pun.” (H19, P 6-7)